Waktu

Maret 26, 2023

 

Tidak adil rasanya untuk Rea. Bagi semua orang, hidup berjalan maju. Bagi Rea, dia tidak kemana-mana. Masih di tempat yang sama. Peristiwa itu terjadi berulang-ulang kali di kepalanya. Seperti kaset rusak yang tombol hidup matinya rusak.

Rea masih datang kembali di restoran kecil itu. Tepat di waktu yang sama, duduk di tempat yang sama dan memesan menu yang sama. Entah sudah berapa pekan dia begini. Altar, si pemilik restoran kecil itu, sudah tidak heran lagi. Setiap hari minggu pukul 4 sore, Altar akan meminta siapapun yang duduk di bangku itu untuk segera mengosongkannya dengan alasan sudah di pesan. Siapa lagi biangnya kalau bukan Rea. Altar tidak mau Rea marah padanya dan membuat keributan di hari yang tenang ini.

***

Masih teringat jelas di benak Altar, ketika itu Rea datang memakai baju merah dengan lengan Sabrina yang cantik, serupa dengan orang yang memakainya. Senyumnya yang hangat membuat siapapun yang melihatnya akan ikut tertular bahagia. Hari itu, Altar sudah menyiapkan meja untuk dua orang, untuk Rea dan Rico. Sore itu Rea bercerita dengan Altar dengan mata yang berbinar-binar. Tergambar jelas bahwa Ia sangat merindukan kekasih hatinya yang sudah lama tidak Ia jumpai. Altar mendengarkannya dengan seksama. Bukan tanpa alasan. Altar adalah sahabat Rea sejak bangku SMP. Tentu saja dia akan menjadi telinga yang baik untuk mendengarkan semua cerita dari Rea.

Sudah pukul 4 lewat 30 menit. Rico belum juga datang. Rea mulai gelisah. Takut akan terjadi sesuatu dengannya. “Ini bukan Rico. Rico benci ngaret!” kata Rea saat itu. “Ya, mungkin dia ada keperluan. Coba telfon saja.” Kata Altar menenangkan. Rea mengambil telfon genggamnya, memencet beberapa nomer, tepat saat itu bunyi lonceng di pintu masuk berbunyi. Di sanalah Ia. Seorang pria tinggi dengan rahang yang tegas dengan kacamata berdiri melambaikan tangannya kearah Rea. Rea dengan seluruh rasa rindunya yang meluap berlari dengan segera dan memeluk lelaki itu dengan erat. “Kangen banget! Tumben telat?” kata Rea. “Maaf, tadi ada urusan sebentar. Apa kabar kamu?”

Apa kabar? Aneh sekali Rico menanyakan ‘apa kabar’? Seperti orang asing saja.

Mereka berdua langsung duduk di meja yang sudah disiapkan oleh Altar. Altar menyambut Rico seperti teman lama. Ya, pacar temanku, adalah temanku juga bukan? Itulah yang ada dipikiran Altar. “Makin sehat kamu, co..” Altar mencoba berbasa-basi. “Kamu juga, Tar!” balas Rico. Altar mempersilahkan Rico dan Rea duduk, kemudian meninggalkan mereka untuk menyiapkan menu pesanan mereka. Seperti biasa, dua piring Nasi Goreng Pattaya dan dua gelas es teh manis. Sangat sederhana, bukan? “Bukan makanannya, tapi dengan siapa kamu makan,” kata Rea waktu itu mencoba menjelaskan. Itu adalah menu makanan saat mereka pertama kali kencan. Jadi, makanan itu memiliki nilai sejarah bagi mereka berdua.

***

Malam itu menjadi malam yang sangat panjang bagi Rea dan Rico. Mereka sudah lama tidak bertemu. Rico yang di tugaskan di luar daerah, membuat mereka harus menjalani hubungan jarak jauh. Saat itu sudah menunjukkan pukul 8 malam. Dari waktu yang panjang itu, Altar bisa mendengar jelas tawa Rea diantara suara kebisingan manusia lainnya di dalam restoran itu. Namun, tiba-tiba suara tawa itu perlahan menghilang. Altar sedikit curiga. Apa Rea sudah pergi tanpa berpamitan dengannya? Dengan rasa penasaran, Altar mengintip bangku Rea dan Rico berada. Tapi Rico sudah tidak disana. Hanya Rea. Duduk termenung dengan senyum yang aneh. Altar sedikit ngeri. “Kenapa anak itu? Kesurupan ya?” gumam Altar.

***

Dengan tatapan kosong, lurus ke depan, air matanya mengalir. Perempuan itu menangis. Tapi tidak bersuara sama sekali. Altar mendatanginya. “Re?”

Rea menangis sejadi-jadinya.

***

Rea menjelaskan bahwa Rico sudah bertunangan dengan seseorang yang Ia temui di kota tempat Ia bekerja. Sudah 2 bulan lamanya dia terikat dengan perempuan itu. Rico tidak tahu bagaimana harus menjelaskannya pada Rea. Jadi, Ia menunggu saat Ia kembali ke kota ini. “Rico sialan!” gumam Altar. “Untuk apa dia datang kemari lagi?” tanya Altar “Dia kesini hanya untuk menjemput Ayah Ibunya, untuk bertemu dengan keluarga perempuan itu. Mereka akan segera menikah. Tiga, atau dua bulan lagi, aku tak ingat. Aku sudah tidak mendengarkannya lagi. Dia hanya minta maaf, karena tidak bisa melanjutkan hubungan ini dengan aku. Dia suruh aku temukan orang lain. Dia tidak pantas untuk aku, dan hal-hal lainnya yang sudah tidak mau aku dengar lagi! Aku bodoh sekali, Altar! Aku tidak pernah menyadarinya. Perubahannya, aku anggap biasa saja. Ternyata memang ada sesuatu dibalik itu.. Aku.. Aku bodoh, Tar!” Rea mulai menangis kembali. Altar terdiam. Ia tidak tahu harus berbuat apa.

***

Berminggu-minggu Rea melakukan hal yang sama. Datang ke restoran Altar, bercerita dengan Altar, berpura menunggu kekasihnya akan datang, makan sendirian di bangku yang sama, kemudian menangis dalam diam dan pulang. Sudah menjadi rutinitasnya setiap minggu. Altar membiarkannya. Altar dengan sabar mendengarkan tangisan dan cerita Rea yang sama berulang-ulang kali. Dia tahu betul, sahabatnya itu harus melepaskan rasa sedih dan kecewanya. “Aku gak papa, kok Tar. Aku gak papa, kan Tar?” kata Rea. “Iya gak papa, tapi mau sampai kapan, Re?” balas Altar.

“Sampai aku tahu waktu yang tepat untuk melepaskan..”

You Might Also Like

0 comments

Komen yang baik, ya :)